Kecuali ia (buah itu):
- 1. Dimakan binatang, dan binatang itu berlari entah kemana
- 2. Dipetik yang punya lalu dibagikan ke tetangga-teangga atau dijual ke pasar.
- 3. Jatuh ke sungai dan hanyut.
- 4. Digerogoti ulat hingga membusuk tak sempat jatuh.
Nah, ternyata pepatah itu (sebenarnya) sejak dulu sudah
patah. Tepatnya ketika kita mendapati
anak kita berperilaku tak sesuai harapan kita. Atau Ketika anak seorang uztad
terkenal melakukan perbuatan amoral. Atau ketika melihat seorang tokoh Atheis,
memiliki anak yang sangat agamis.
Tapi
percayalah! Sebelum pepatah itu dipatahkan, memang banyak benarnya. Perilaku
itu memang tidak ada ceritanyadibawa secara genetis. Ini dibuktikan bagaimana
lingkungan yang berbeda bisa membuat sepasang kembar identik memiliki perilaku
yang berbeda pula. Si A yang dibesarkan di lingkungan yang buruk, kasar, maka
perilakunyapun cenderung mengikutinya.
Lalu
ketika anak kita membentak anak kita saat kita mengingatkan kewajibannya,
apakah itu berarti kita juga demikian. Bisa ya. Bisa tidak.
Setidaknya
mendapat bantahan/respon negative dari anak menjadi cermin/pengingat kita. Yup,
mungkin pernah sesekali kita membentaknya. Mungkin bagi kita itu bukan
membentak, Cuma bicara lebih keras, tegas, lugas. Tapi persepsi di otaknya
menerjemahkan lain. Bisa jadi, pernah suatu ketika, di waktu yang kita lupa,
hal itu terjadi.
Bentakan
itu merayapi batang otak reptilenya. Dan mengendap disana. Meletup saat kita
menginginkan/mengingatkan dia (anak
kita) melakukan sesuatu. Ampun Tuhan! Manusia itu memang tempatnya alfa bukan?
Bersyukurlah,
saat anak kita menyahut kita dengan pedas, galak, tegas, lugas, karena itu
artinya dia sedang mengingat perilaku kita. Selalu ada waktu untuk insyaf dan
berubah.
Memang
sih banyak dalih untuk mengingkari, bahwa anak kita yang (tidak) seperti kita
(yang santun, lemah lembut)itu sebagai akibat dari pergaulan dunia maya, film
yang berlatar belakang aneka budaya urban,
pergaulan di luar rumah sana. Memang bisa jadi begitu.
Yang jadi pertanyaan, bukankah kita sudah tahu seperti apa
dunia diluar rumah itu, lalu kenapa kita tak melakukan antisipasi sejak dini.
Dari tabiat terburuk yang bercokol dalam diri?
Maka
seharusnya kau tak seharusnya ngakak saat percakapan ini terjadi.
“aih cantiknya Titi, kaya ibu lagi muda lhoo.”
“Yah, kalo kaya ibu itu takdir, kalo ga kaya ibu, ya
Alhamdulillah.” Jleb, deh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar