Pagi ini datang seorang teman janda, bercerita tentang
keluarganya. Cukup malu juga aku, menyadari bahwa setelah belasan tahun berteman,
aku belum mengetahui tentang keluarganya. Sebut saja bu Tia.
Sebagai janda pensiunan PNS, Ibu Tia hidup pas-pasan,
mengngat kebutuhan hidup saat ini, ditambah dia harus menyekolahkan anaknya di
kota S. Dia harus mengusahkan tambahan
dengan berjualan makanan dan menerima pesanan.
Sekalipun demikian, bu Tia masih bisa aktif berorganisasi di lingkungan.
Tapi yang keterlaluan, adalah saat proyek-proyek pendataan pemerintah,
pekerjaan wira-wiri, kenapa hanya dia yang
menyanggupinya. Padahal waktunya cukup berharga untuk melakukan produksi
makanan rumahan yang uangnya sangat berharga bagi keluarganya. Sementara ibu-ibu lain seolah tak peduli, atau
mengaku sama repotnya dengan bu Tia.
Aku memandang cermin. Kutemui wajah munafikku. Ampun Tuhan!
Tak hanya itu, di keluarganyapun bu Tia mendapati
ketimpangan perjuangan. Secara gamblang, dia bilang,” Kenapa sih pria dari suku
X, malas-malas, nih contohnya, adikku yang cowok, susah amat bekerja, padahal
masing-masing sudah bekerja. Sedangkan saya yang anemia, Enin yang tua, tante yang perempuan,
malah bekerja keras seperti itu.” Haaa, dia menyebutkan sukunya sendiri!
Bu Tia menarik nafas, lalu memulai keluahannya lagi, “… duh bu, nulis surat lamaran saja, betapa
susahnya… padahal saya sudah merekomendasikannya sebagai pekerja RW. Saya sudah
bilang, gaji dari RW memang tak seberapa, tapi tunjangan dari Allah ituloh…”
“Tunjangan
dari Allah?”
“Rezeki
yang tak disangka-sangka, karena bekerja sebagai staf RW/Satpam/Marbot/Tukang
sampah biasanya suka banyak tambahan. Disuruh ngecatlah, bebersih rumputlah,
belum kalo ada hajatan, tambah hadiah atau sedekah dari warga.”
Yah,
tentu saja. Tuhan memang selalu menambahkan rezeki pada orang-orang yang
bekerja. Karena itu bekerjalah. Karena Keberuntungan adalah milik orang-orang
yang mengusakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar