Senin, 22 Februari 2016

Mak Recok: Rp. 30.000/hari



Di jaman sekarang ini apalah artinya uang senilai Rp. 30.000? sekilo kurang ayam? 2 mangkok baso? Sepiring nasi goring berikut minuman plus parkir? berapa liter bensin yang dapat mencapai beberapa kilometer. Ternyata banyak ya artinya Rp. 30.000. Tapi tetap saja, untuk segelintir orang, uang segitu nyaris tak bernilai.
                Tapi kenapa kami, aku dan suamiku, mau melakoni rutinitas untuk Rp. 30.000 itu? Singkat kata, sudah beberapa bulan ini kami memelihara beberapa puyuh. Mulanya, kami hanya bertujuan uji coba sebagai jalan alternative untuk pengisi waktu dan pengisi pundi-pundikami saat suamiku pension.
                Kami percaya,  tak ada jalan yang instan. Maka kami lakoni saja. Dari 250 ekor burung, Rata-rata pendapatan Rp, 900.000/bulan menjadi lebih ciut lagi, karena pakannya menembus angka rp, 600.000/bulan. (semua hitungan kasar). Jadi kami mendapat Rp, 300 000/bulan, jadi rata-rata harian 10 rb/hari.
                Resiko itu belum ditambah dengan predator tikus yang akhir-akhir ini rajin mengambil jatah ilegalnya dari kandang kami. Bukan hanya 1-2 burung yang dimangsa, tapi kami pernah menemukan hingga 10 ekor puyuh dalam semalam, mati mengenaskan. Pagi ini kami melakukan evakuasi seekor burung yang lumpuh, akibat shock mengalami serangan predator semalam.
                Jadi kenapa kami tetap melakoninya? Yah karena kami percaya bahwa rezeki harus kami jemput. Sekalipun kami tahu, rezeki tak akan berkurang atau bertambah. Tuhan telah memberikan rezeki sesuai takarannya.
                Kenapa kami setia walau nilainya sangat kecil? Karena kami percaya, bagaimana kami mendapat yang besar, bila yang kecil saja kami tolak. Maaf, kami bukan maniak uang. Kami Cuma punya hobi akan uang. Jelas berbeda ya. Karena seorang penyandang maniak, mestinya mengalami kelainan mental. Sedang seorang penghobi, adlah orang yang berbahagia, dengan apa yang dia sukai. Hehe.
                Tuhan memang tidak pernah mengguyur kami dengan hujan duit.
                Tapi rezeki yang aku rasakan adalah kesehatan saat kami melakoninya. Jangan sepelekan, saat suamiku turun naik membersikan kandang puyuh. Secara tak sengaja, dia telah berolah raga. Jelas!
Dan saat aku setiap pagi aku mengantarkan telur ke tukang sayur. Berjalan kaki (olah raga), bertukar sapa,hingga berseloroh  dengan tetangga dan tukang sayur (kesehatan mental). Disitulah kami merasakan anugerah tuhan, bukan hanya sekedar Rp, 30.000.
Kini kami harap kamu tahu kenapa kami melakoninya untuk Rp, 30.000.

               


Sabtu, 23 Januari 2016

MAK RECOK: BUAH ITU JATUH TAK AKAN JAUH DARI POHONNYA



Kecuali ia (buah itu):
  • 1.       Dimakan binatang, dan binatang itu berlari entah kemana
  • 2.       Dipetik yang punya lalu dibagikan ke tetangga-teangga atau dijual ke pasar.
  • 3.       Jatuh ke sungai dan hanyut.
  • 4.       Digerogoti ulat hingga membusuk tak sempat jatuh.

Nah, ternyata pepatah itu (sebenarnya) sejak dulu sudah patah.  Tepatnya ketika kita mendapati anak kita berperilaku tak sesuai harapan kita. Atau Ketika anak seorang uztad terkenal melakukan perbuatan amoral. Atau ketika melihat seorang tokoh Atheis, memiliki anak yang sangat agamis.
                Tapi percayalah! Sebelum pepatah itu dipatahkan, memang banyak benarnya. Perilaku itu memang tidak ada ceritanyadibawa secara genetis. Ini dibuktikan bagaimana lingkungan yang berbeda bisa membuat sepasang kembar identik memiliki perilaku yang berbeda pula. Si A yang dibesarkan di lingkungan yang buruk, kasar, maka perilakunyapun cenderung mengikutinya.
                Lalu ketika anak kita membentak anak kita saat kita mengingatkan kewajibannya, apakah itu berarti kita juga demikian. Bisa ya. Bisa tidak.
                Setidaknya mendapat bantahan/respon negative dari anak menjadi cermin/pengingat kita. Yup, mungkin pernah sesekali kita membentaknya. Mungkin bagi kita itu bukan membentak, Cuma bicara lebih keras, tegas, lugas. Tapi persepsi di otaknya menerjemahkan lain. Bisa jadi, pernah suatu ketika, di waktu yang kita lupa, hal itu terjadi.
                Bentakan itu merayapi batang otak reptilenya. Dan mengendap disana. Meletup saat kita menginginkan/mengingatkan  dia (anak kita) melakukan sesuatu. Ampun Tuhan! Manusia itu memang tempatnya alfa bukan?
                Bersyukurlah, saat anak kita menyahut kita dengan pedas, galak, tegas, lugas, karena itu artinya dia sedang mengingat perilaku kita. Selalu ada waktu untuk insyaf dan berubah.
                Memang sih banyak dalih untuk mengingkari, bahwa anak kita yang (tidak) seperti kita (yang santun, lemah lembut)itu sebagai akibat dari pergaulan dunia maya, film yang berlatar belakang aneka budaya urban,  pergaulan di luar rumah sana. Memang bisa jadi begitu.
Yang jadi pertanyaan, bukankah kita sudah tahu seperti apa dunia diluar rumah itu, lalu kenapa kita tak melakukan antisipasi sejak dini. Dari tabiat terburuk yang bercokol dalam diri?
                Maka seharusnya kau tak seharusnya ngakak saat percakapan ini terjadi.
“aih cantiknya Titi, kaya ibu lagi muda lhoo.”
“Yah, kalo kaya ibu itu takdir, kalo ga kaya ibu, ya Alhamdulillah.” Jleb, deh!

               
               
               



MAK RECOK: BUAH ITU JATUH TAK AKAN JAUH DARI POHONNYA



Kecuali ia (buah itu):
  • 1.       Dimakan binatang, dan binatang itu berlari entah kemana
  • 2.       Dipetik yang punya lalu dibagikan ke tetangga-teangga atau dijual ke pasar.
  • 3.       Jatuh ke sungai dan hanyut.
  • 4.       Digerogoti ulat hingga membusuk tak sempat jatuh.

Nah, ternyata pepatah itu (sebenarnya) sejak dulu sudah patah.  Tepatnya ketika kita mendapati anak kita berperilaku tak sesuai harapan kita. Atau Ketika anak seorang uztad terkenal melakukan perbuatan amoral. Atau ketika melihat seorang tokoh Atheis, memiliki anak yang sangat agamis.
                Tapi percayalah! Sebelum pepatah itu dipatahkan, memang banyak benarnya. Perilaku itu memang tidak ada ceritanyadibawa secara genetis. Ini dibuktikan bagaimana lingkungan yang berbeda bisa membuat sepasang kembar identik memiliki perilaku yang berbeda pula. Si A yang dibesarkan di lingkungan yang buruk, kasar, maka perilakunyapun cenderung mengikutinya.
                Lalu ketika anak kita membentak anak kita saat kita mengingatkan kewajibannya, apakah itu berarti kita juga demikian. Bisa ya. Bisa tidak.
                Setidaknya mendapat bantahan/respon negative dari anak menjadi cermin/pengingat kita. Yup, mungkin pernah sesekali kita membentaknya. Mungkin bagi kita itu bukan membentak, Cuma bicara lebih keras, tegas, lugas. Tapi persepsi di otaknya menerjemahkan lain. Bisa jadi, pernah suatu ketika, di waktu yang kita lupa, hal itu terjadi.
                Bentakan itu merayapi batang otak reptilenya. Dan mengendap disana. Meletup saat kita menginginkan/mengingatkan  dia (anak kita) melakukan sesuatu. Ampun Tuhan! Manusia itu memang tempatnya alfa bukan?
                Bersyukurlah, saat anak kita menyahut kita dengan pedas, galak, tegas, lugas, karena itu artinya dia sedang mengingat perilaku kita. Selalu ada waktu untuk insyaf dan berubah.
                Memang sih banyak dalih untuk mengingkari, bahwa anak kita yang (tidak) seperti kita (yang santun, lemah lembut)itu sebagai akibat dari pergaulan dunia maya, film yang berlatar belakang aneka budaya urban,  pergaulan di luar rumah sana. Memang bisa jadi begitu.
Yang jadi pertanyaan, bukankah kita sudah tahu seperti apa dunia diluar rumah itu, lalu kenapa kita tak melakukan antisipasi sejak dini. Dari tabiat terburuk yang bercokol dalam diri?
                Maka seharusnya kau tak seharusnya ngakak saat percakapan ini terjadi.
“aih cantiknya Titi, kaya ibu lagi muda lhoo.”
“Yah, kalo kaya ibu itu takdir, kalo ga kaya ibu, ya Alhamdulillah.” Jleb, deh!

               
               
               



Rabu, 11 November 2015

Mak Recok: Bekerjalah!



Pagi ini datang seorang teman janda, bercerita tentang keluarganya. Cukup malu juga aku, menyadari bahwa setelah belasan tahun berteman, aku belum mengetahui tentang keluarganya. Sebut saja bu Tia.

Sebagai janda pensiunan PNS, Ibu Tia hidup pas-pasan, mengngat kebutuhan hidup saat ini, ditambah dia harus menyekolahkan anaknya di kota S.  Dia harus mengusahkan tambahan dengan berjualan makanan dan menerima pesanan.  Sekalipun demikian, bu Tia masih bisa aktif berorganisasi di lingkungan. Tapi yang keterlaluan, adalah saat proyek-proyek pendataan pemerintah, pekerjaan wira-wiri, kenapa hanya  dia yang menyanggupinya. Padahal waktunya cukup berharga untuk melakukan produksi makanan rumahan yang uangnya sangat berharga bagi keluarganya.  Sementara ibu-ibu lain seolah tak peduli, atau mengaku sama repotnya dengan bu Tia.

Aku memandang cermin. Kutemui wajah munafikku. Ampun Tuhan!

Tak hanya itu, di keluarganyapun bu Tia mendapati ketimpangan perjuangan. Secara gamblang, dia bilang,” Kenapa sih pria dari suku X, malas-malas, nih contohnya, adikku yang cowok, susah amat bekerja, padahal masing-masing sudah bekerja. Sedangkan saya yang  anemia, Enin yang tua, tante yang perempuan, malah bekerja keras seperti itu.” Haaa, dia menyebutkan sukunya sendiri!

Bu Tia menarik nafas, lalu memulai keluahannya lagi,  “… duh bu, nulis surat lamaran saja, betapa susahnya… padahal saya sudah merekomendasikannya sebagai pekerja RW. Saya sudah bilang, gaji dari RW memang tak seberapa, tapi tunjangan dari Allah ituloh…”

                “Tunjangan dari Allah?”
                “Rezeki yang tak disangka-sangka, karena bekerja sebagai staf RW/Satpam/Marbot/Tukang sampah biasanya suka banyak tambahan. Disuruh ngecatlah, bebersih rumputlah, belum kalo ada hajatan, tambah hadiah atau sedekah dari warga.”

                Yah, tentu saja. Tuhan memang selalu menambahkan rezeki pada orang-orang yang bekerja. Karena itu bekerjalah. Karena Keberuntungan adalah milik orang-orang yang mengusakannya.